Our Information and Articles.
Read, Enjoy and Share !

Kematian menurut Dhamma

1)      Aniccā vata saṅkhārā
Uppāda-vaya-dhammino
Uppajjitvā nirujjhanti
Tesaṁ vūpasamo sukho

2)      Sabbe sattā maranti ca
Mariṁsu ca marissare
Tathevāhaṁ marissāmi
Natthi me ettha saṁsayo.


2 bait kata-kata suci ini adalah isi dari Pamsukula Gatha dalam bagian Paritta Avamangalla. Seperti yang kita tahu, saudaraku dalam Dhamma, kita membacakan paritta ini untuk memperingati kematian ntah saudara atau kerabat kita.

Beberapa minggu ini, ntah mengapa, banyak sekali terdengar berita orang-orang yang meninggal semenjak dari acara Pattidana di vihara hingga kemarin. Kemarin, hari Minggu 17 April 2016, saya menyempatkan ke Vihara untuk memimpin pembacaan permohonan sila kepada Samanera sebelum membacakan paritta Avamangalla atas meninggalnya papa dari seorang umat dan memperingati 100 tahun meninggalnya seorang bapak. Sungguh suatu kesempatan baik bagi saya dapat mendengarkan sedikit wejangan dari Samanera. Dalam kesempatan ini, saya akan mengulang sedikit apa yang dibabarkan oleh Samanera. Semua hal ini sebenarnya telah dibabarkan oleh Guru Agung Kita yaitu Sang Buddha sendiri.

Kematian. Kata ini sering diartikan sebagai hal negative. Ketika mendengar kata ini, timbul berbagai perasaan yang tidak enak, sedih, khawatir, kehilangan, dll. Ketika melihat orang yang meninggal kita bersedih dan bahkan menangis. Ya, menangis meratapi kepergian orang yang kita sayang. Dalam kenyataan, kehilangan orang yang dekat dengan kita merupakan hal yang tidak mengenakkan. Namun, sebagai umat Buddhis yang mempelajari Dhamma, kita hendaknya melihat kematian dalam artian yang berbeda. Kematian itu hal yang pasti, tiada yang bisa terhindar dari kematian. Sedangkan kelahiran itu hal yang tidak pasti, karena setelah lahir sebagai manusia, disanalah penderitaan kita dimulai.

Dalam Pamsukula Gatha, kita bisa membaca bahwa segala bentukan tiada kekal adanya, bersifat timbul dan tenggelam; setelah timbul akan lenyap. Padamnya bentukan-bentukan adalah kebahagiaan. Ini adalah hokum yang tidak bisa kita tolak lagi. Ketika timbul pasti akan lenyap, begitu juga dengan ketika kita dilahirkan pasti ada yang namanya kematian. Namun, apakah berarti setiap kita dihampiri kematian orang yang kita sayangi, kita harus bersedih??? Kematian tidaklah harus dihadapi dengan kesedihan karena kematian itu tidak terjadi sekali saja.

Bait kedua dari Pamsukula Gatha dapat diartikan bahwa semua makhluk mengalami kematian. Mereka telah mengalami kematian, dan akan mengalami kematian lagi. Demikian pula, saya pasti mengalami kematian. Tiada keraguan bagiku tentang hal ini. Dalam agama Buddha, kita tahu ada 31 alam kehidupan. Dalam hidup ini, sebelum kita mencapai Nibanna, maka kita akan berputar pada roda kehidupan dalam 31 alam itu. Dengan kata lain, mungkin sudah puluhan bahkan ribuan kali kita mengalami lahir mati itu. Maka, benar, untuk apa kita bersedih, kematian itu hal yang wajar, tidak bisa kita tolak. Namun, jangan disalahkan artikan, kematian itu bukan akhir dari segalanya. Kematian itu awal dari sebuah kehidupan baru. Kematian itu sejenak membebaskan kita dari roda penderitaan dalam hidup kita. Maka dari itu, Samanera menjelaskan bahwa  sebenarnya kelahiran itu tidaklah harus dirayakan dengan semeriah mungkin karena ketika kita lahir maka disitulah kita berhadapan dengan penderitaan kita.

Segala sesuatu adalah tidak kekal adanya. Di saat kita mati, kita tidak akan membawa apa-apa. Maka dari itu, dalam hidup hendaknya kita tidak melekat pada suatu hal karena itu hal yang percuma dan akan menambah penderitaan kita. Penderitaan karena perputaran roda kehidupan hanya akan berakhir ketika kita menemukan apa yang kita sebut sebagai Nibanna. Tidak ada orang yang tahu bagaimana Nibanna itu dan memang Nibanna tidak perlu digambarkan secara bermacam-macam. Yang perlu kita lakukan, melatih hidup kita dengan selalu berbuat baik, berdana, melakukan apa yang tertulis dalam Sila, maka suatu saat kita akan mencapai Nibanna itu sendiri. Kalaupun belum saatnya mencapai Nibanna, paling tidak dengan berbuat kebajikan kita bisa memperoleh kebahagiaan itu sendiri.


Dalam salah satu Paritta lain, dijelaskan bahwa tua, sakit, dan mati itu hal yang wajar. Hidup itu kita berasal dari karma yang telah kita pupuk. Kita mewarisi karma kita sendiri, lahir di kehidupan selanjutnya juga dari karma kita sendiri. Jadi tidak ada namanya kita sakit atau mendekati kematian terus menyalahkan orang lain karena apa yang kita lakukan itulah yang akan kita tuai. Untuk menutup sharing saya ini, saya akan menuliskan setitik pencerahan dari Dhammapada Bab XVIII Mala Vagga (Noda-Noda):

235. Sekarang anda seperti daun kering yang kuning dan layu; angina yang lembut pun dapat merobohkan anda. Ajalmu sudah dekat, anda berada di pintu kematian, tetapi anda tidak membawa bekal apa pun.

236. Buatlah pulau pelindung bagi dirimu sendiri, bergegaslah dengan sungguh-sungguh untuk menekuni Dhamma dan mencapai kebijaksanaan, bebas dari noda dan nafsu keingingan, mencapai tempat kediaman para orang suci.

237. Pada saat akhir kehidupan telah mendekat, sebentar lagi menghadap raja kematian (Yama), tiada tempat untuk beristirahat dalam perjalanan, anda tampaknya tidak memiliki bekal apa pun.

238. Buatlah pulau pelindung bagi dirimu sendiri, bergegaslah dengan sungguh-sungguh untuk menekuni Dhamma dan mencapai kebijaksanaan, bebas dari noda dan nafsu keingingan, anda tidak akan kembali terjerumus dalam lingkaran kehidupan dan kematian lagi.

Lahir adalah awal dari penderitaan. Kematian adalah hal yang pasti. Namun diantara kelahiran dan kematian, kita harus menjalani kehidupan kita. Penderitaan muncul karena kita dilahirkan, tapi bukan berarti kita tidak bisa berbahagia. Selagi kita hidup, kita bisa melakukan hal-hal yang baik, salah satunya mempelajari Dhamma. Ketika kita sadar dalam mempelajari Dhamma itu sendiri, maka disanalah kita bisa menemukan kebenaran dan kebijaksanaan. Ketika kita hidup, dengan melakukan berbagai kebajikan, penderitaan kita bisa semakin berkurang. Saya pun pada saat saya masih kelas 3 SD harus kehilangan papa saya, dan ketika Desember 2012 kemarin mama saya pun pergi. Sedih, ya awalnya saya juga sedih dan galau. Namun, ketika saya kembali menemukan kebenaran dalam Dhamma ketika saya aktif kembali di vihara, saya memutuskan untuk sebisa mungkin melupakan kesedihan itu dan memperbanyak kebajikan saya. Saya pun juga sering belajar Dhamma itu sendiri dan memang benar disanalah saya mulai menemukan kebenaran. Dari sini, saya menemukan ketenangan hati, bahagia yang bukan hanya sementara tapi bahagia dalam batin.


Sebagai umat Buddhis yang baik, ketika kita menemukan orang yang kita sayang meninggal, jangan terlalu meratapi segalanya dengan kesedihan. Kita bisa menambah kebajikan dengan mengundang Bhikkhu untuk membacakan Paritta Avamangalla, dan melakukan dana sebagai pelimpahan jasa bagi sanak saudara yang telah meninggalkan kita. Selain itu, dalam kehidupan kita sehar-hari, kita bisa menambah kebajikan-kebajikan kita. Dan satu hal yang pasti, hadapi kematian dengan kesiapan hati tanpa rasa takut karena kematian bukan akhir dari segalanya. Dengan setitik pencerahan ini, semoga semua orang yang mengalami kesedihan bisa lebih kuat dan menerima segala sesuatu sesuai dengan yang ada dalam Dhamma. Semoga makhluk-makhluk yang meninggal pun bisa terlahir kembali ke alam yang lebih bahagia. Semoga semua makhluk hidup dengan bahagia. SADHU3X. (Jika ingin lebih mendalami Dhamma lagi, jangan lupa hadir di acara Sebulan Pendalaman Dhamma di Yayasan Samaggi Viriya mulai 22 April hingga 21 Mei 2016)
Unknown Unknown Author

Stupa Borobudur


Unknown Unknown Author

Quote 15


Unknown Unknown Author

[NEXT EVENT] 1 JULI 2018

[NEXT EVENT] 1 JULI 2018
DHAMMADESANA o/ Atthasilani KAMANIYASARANI

Contact Us

Youth of Samaggi Viriya

Alamat : Yayasan Samaggi Viriya
Jalan Telaga Bodas A1 Malang

Contact Person
Whatsapp : +6283834256345
Office : 0341-571755

Popular Posts

Search