Kematian menurut Dhamma
April 17, 2016
1)
Aniccā vata saṅkhārā
Uppāda-vaya-dhammino
Uppajjitvā nirujjhanti
Tesaṁ vūpasamo sukho
Uppāda-vaya-dhammino
Uppajjitvā nirujjhanti
Tesaṁ vūpasamo sukho
2)
Sabbe sattā maranti ca
Mariṁsu ca marissare
Tathevāhaṁ marissāmi
Natthi me ettha saṁsayo.
Mariṁsu ca marissare
Tathevāhaṁ marissāmi
Natthi me ettha saṁsayo.
2 bait kata-kata
suci ini adalah isi dari Pamsukula Gatha dalam bagian Paritta Avamangalla.
Seperti yang kita tahu, saudaraku dalam Dhamma, kita membacakan paritta ini
untuk memperingati kematian ntah saudara atau kerabat kita.
Beberapa minggu ini,
ntah mengapa, banyak sekali terdengar berita orang-orang yang meninggal
semenjak dari acara Pattidana di vihara hingga kemarin. Kemarin, hari Minggu 17
April 2016, saya menyempatkan ke Vihara untuk memimpin pembacaan permohonan
sila kepada Samanera sebelum membacakan paritta Avamangalla atas meninggalnya
papa dari seorang umat dan memperingati 100 tahun meninggalnya seorang bapak.
Sungguh suatu kesempatan baik bagi saya dapat mendengarkan sedikit wejangan
dari Samanera. Dalam kesempatan ini, saya akan mengulang sedikit apa yang
dibabarkan oleh Samanera. Semua hal ini sebenarnya telah dibabarkan oleh Guru
Agung Kita yaitu Sang Buddha sendiri.
Kematian. Kata ini
sering diartikan sebagai hal negative. Ketika mendengar kata ini, timbul
berbagai perasaan yang tidak enak, sedih, khawatir, kehilangan, dll. Ketika
melihat orang yang meninggal kita bersedih dan bahkan menangis. Ya, menangis
meratapi kepergian orang yang kita sayang. Dalam kenyataan, kehilangan orang
yang dekat dengan kita merupakan hal yang tidak mengenakkan. Namun, sebagai
umat Buddhis yang mempelajari Dhamma, kita hendaknya melihat kematian dalam
artian yang berbeda. Kematian itu hal yang pasti, tiada yang bisa terhindar
dari kematian. Sedangkan kelahiran itu hal yang tidak pasti, karena setelah
lahir sebagai manusia, disanalah penderitaan kita dimulai.
Dalam Pamsukula
Gatha, kita bisa membaca bahwa segala bentukan tiada kekal adanya, bersifat
timbul dan tenggelam; setelah timbul akan lenyap. Padamnya bentukan-bentukan
adalah kebahagiaan. Ini adalah hokum yang tidak bisa kita tolak lagi. Ketika
timbul pasti akan lenyap, begitu juga dengan ketika kita dilahirkan pasti ada
yang namanya kematian. Namun, apakah berarti setiap kita dihampiri kematian
orang yang kita sayangi, kita harus bersedih??? Kematian tidaklah harus
dihadapi dengan kesedihan karena kematian itu tidak terjadi sekali saja.
Bait kedua dari
Pamsukula Gatha dapat diartikan bahwa semua makhluk mengalami kematian. Mereka
telah mengalami kematian, dan akan mengalami kematian lagi. Demikian pula, saya
pasti mengalami kematian. Tiada keraguan bagiku tentang hal ini. Dalam agama
Buddha, kita tahu ada 31 alam kehidupan. Dalam hidup ini, sebelum kita mencapai
Nibanna, maka kita akan berputar pada roda kehidupan dalam 31 alam itu. Dengan
kata lain, mungkin sudah puluhan bahkan ribuan kali kita mengalami lahir mati
itu. Maka, benar, untuk apa kita bersedih, kematian itu hal yang wajar, tidak
bisa kita tolak. Namun, jangan disalahkan artikan, kematian itu bukan akhir
dari segalanya. Kematian itu awal dari sebuah kehidupan baru. Kematian itu
sejenak membebaskan kita dari roda penderitaan dalam hidup kita. Maka dari itu,
Samanera menjelaskan bahwa sebenarnya
kelahiran itu tidaklah harus dirayakan dengan semeriah mungkin karena ketika
kita lahir maka disitulah kita berhadapan dengan penderitaan kita.
Segala sesuatu
adalah tidak kekal adanya. Di saat kita mati, kita tidak akan membawa apa-apa.
Maka dari itu, dalam hidup hendaknya kita tidak melekat pada suatu hal karena
itu hal yang percuma dan akan menambah penderitaan kita. Penderitaan karena
perputaran roda kehidupan hanya akan berakhir ketika kita menemukan apa yang
kita sebut sebagai Nibanna. Tidak ada orang yang tahu bagaimana Nibanna itu dan
memang Nibanna tidak perlu digambarkan secara bermacam-macam. Yang perlu kita
lakukan, melatih hidup kita dengan selalu berbuat baik, berdana, melakukan apa
yang tertulis dalam Sila, maka suatu saat kita akan mencapai Nibanna itu
sendiri. Kalaupun belum saatnya mencapai Nibanna, paling tidak dengan berbuat
kebajikan kita bisa memperoleh kebahagiaan itu sendiri.
Dalam salah satu
Paritta lain, dijelaskan bahwa tua, sakit, dan mati itu hal yang wajar. Hidup
itu kita berasal dari karma yang telah kita pupuk. Kita mewarisi karma kita
sendiri, lahir di kehidupan selanjutnya juga dari karma kita sendiri. Jadi
tidak ada namanya kita sakit atau mendekati kematian terus menyalahkan orang
lain karena apa yang kita lakukan itulah yang akan kita tuai. Untuk menutup
sharing saya ini, saya akan menuliskan setitik pencerahan dari Dhammapada Bab
XVIII Mala Vagga (Noda-Noda):
235. Sekarang anda seperti daun kering yang kuning dan
layu; angina yang lembut pun dapat merobohkan anda. Ajalmu sudah dekat, anda
berada di pintu kematian, tetapi anda tidak membawa bekal apa pun.
236. Buatlah pulau pelindung bagi dirimu sendiri,
bergegaslah dengan sungguh-sungguh untuk menekuni Dhamma dan mencapai
kebijaksanaan, bebas dari noda dan nafsu keingingan, mencapai tempat kediaman
para orang suci.
237. Pada saat akhir kehidupan telah mendekat, sebentar
lagi menghadap raja kematian (Yama), tiada tempat untuk beristirahat dalam
perjalanan, anda tampaknya tidak memiliki bekal apa pun.
238. Buatlah pulau pelindung bagi dirimu sendiri,
bergegaslah dengan sungguh-sungguh untuk menekuni Dhamma dan mencapai
kebijaksanaan, bebas dari noda dan nafsu keingingan, anda tidak akan kembali
terjerumus dalam lingkaran kehidupan dan kematian lagi.
Lahir adalah awal
dari penderitaan. Kematian adalah hal yang pasti. Namun diantara kelahiran dan
kematian, kita harus menjalani kehidupan kita. Penderitaan muncul karena kita
dilahirkan, tapi bukan berarti kita tidak bisa berbahagia. Selagi kita hidup,
kita bisa melakukan hal-hal yang baik, salah satunya mempelajari Dhamma. Ketika
kita sadar dalam mempelajari Dhamma itu sendiri, maka disanalah kita bisa
menemukan kebenaran dan kebijaksanaan. Ketika kita hidup, dengan melakukan
berbagai kebajikan, penderitaan kita bisa semakin berkurang. Saya pun pada saat
saya masih kelas 3 SD harus kehilangan papa saya, dan ketika Desember 2012
kemarin mama saya pun pergi. Sedih, ya awalnya saya juga sedih dan galau.
Namun, ketika saya kembali menemukan kebenaran dalam Dhamma ketika saya aktif
kembali di vihara, saya memutuskan untuk sebisa mungkin melupakan kesedihan itu
dan memperbanyak kebajikan saya. Saya pun juga sering belajar Dhamma itu
sendiri dan memang benar disanalah saya mulai menemukan kebenaran. Dari sini,
saya menemukan ketenangan hati, bahagia yang bukan hanya sementara tapi bahagia
dalam batin.
Sebagai umat Buddhis
yang baik, ketika kita menemukan orang yang kita sayang meninggal, jangan
terlalu meratapi segalanya dengan kesedihan. Kita bisa menambah kebajikan
dengan mengundang Bhikkhu untuk membacakan Paritta Avamangalla, dan melakukan
dana sebagai pelimpahan jasa bagi sanak saudara yang telah meninggalkan kita.
Selain itu, dalam kehidupan kita sehar-hari, kita bisa menambah
kebajikan-kebajikan kita. Dan satu hal yang pasti, hadapi kematian dengan
kesiapan hati tanpa rasa takut karena kematian bukan akhir dari segalanya.
Dengan setitik pencerahan ini, semoga semua orang yang mengalami kesedihan bisa
lebih kuat dan menerima segala sesuatu sesuai dengan yang ada dalam Dhamma.
Semoga makhluk-makhluk yang meninggal pun bisa terlahir kembali ke alam yang
lebih bahagia. Semoga semua makhluk hidup dengan bahagia. SADHU3X. (Jika ingin
lebih mendalami Dhamma lagi, jangan lupa hadir di acara Sebulan Pendalaman
Dhamma di Yayasan Samaggi Viriya mulai 22 April hingga 21 Mei 2016)