KISAH KASIH SEORANG AYAH
February 13, 2018
Ayah meninggal karena
kanker paru-paru stadium akhir saat saya berusia 6 tahun. Beliau juga
meninggalkan ibu dan adik saya yang masih berusia dua tahun. Sejak
saat itu kehidupan kami sehari-hari sangat sulit. Setiap hari ibu
bekerja membanting tulang di sawah hanya cukup menyelesaikan masalah
perut saja.
Saat saya berusia 9 tahun, ibu menikah dengan seorang pria dan menyuruh kami memanggilnya ayah. Pria tersebut adalah ayah tiri saya. Untuk selanjutnya dia yang menopang keluarga kami.
Dalam ingatan masa kecil, ayah tiri saya seorang yang sangat rajin, dia juga sangat menyayangi ibu.Pekerjaan apa saja dalam keluarga yang membutuhkan tenaganya akan dia lakukan, selamanya tidak membiarkan ibu untuk campur tangan.
Sehari-hari ayah tiri adalah orang yang pendiam. Usianya kira-kira empat puluhan lebih, berperawakan tinggi dan kurus, tetapi bersemangat. Dahinya hitam, memiliki sepasang tangan besar yang kasar, di wajahnya yang kecoklatan terdapat sepasang mata kecil yang cekung.
Ayah tiri saya mempunyai suatu kebiasaan, tidak peduli pergi kemana pun, diatas pinggangnya selalu terselip sebatang pipa rokok antik berwarna coklat kehitaman. Setiap ada waktu senggang dia selalu menghisap rokok menggunakan pipa itu. Sejak dulu saya tidak suka dengan perokok, oleh karenanya saya juluki dia dengan sebutan “setan perokok”.
Dalam ingatan saya, ayah tiri selalu tenang dalam menghadapi segala persoalan, tidak peduli besar kecilnya permasalahan selalu dihadapinya dengan santai. Namun hanya karena sebatang pipa rokok, ayah tiri telah memberikan saya sebuah tamparan yang sangat keras.
Teringat waktu itu ayah tiri baru saja menjadi anggota keluarga kurang lebih setengah tahun, suatu hari saya mencuri pipa rokoknya untuk saya sembunyikan. Hasilnya, ayah tiri selama beberapa hari merasa gelisah dan tak tenang, sepasang matanya merah laksana berdarah. Akhirnya karena saya diinterogasi dengan keras oleh ibu, dengan berat hati saya menyerahkan pipa rokok itu.
Ketika saya menyerahkan pipa itu kehadapan ayah tiri, dia menerimanya dengan tangan gemetaran dan tak lupa dia memberikan saya satu tamparan keras, kedua matanya berlinangan air mata.
Saya sangat ketakutan dan menangis, ibu menghampiri dan memeluk kepala saya lalu berkata, “Lain kali jangan pernah menyentuh pipa rokok itu, mengertikah kamu? Pipa itu adalah nyawanya!”
Setelah kejadian itu, pipa rokok itu menjadi penuh misteri bagiku. Saya berpikir, “Ada apa dengan pipa itu sehingga membuat ayah tiri bisa meneteskan air mata? Pasti ada sebuah kisah tentangnya.”
Mungkin tamparan itu telah menyebabkan dendam terhadap ayah tiri, tidak peduli bagaimanapun jerih payah pengorbanannya, saya tidak pernah menjadi terharu. Sejak usia belia, saya selalu berpendapat ayah tiri sama jahatnya seperti ibu tiri dalam dongeng Puteri Salju. Sikap saya terhadap ayah tiri sangat dingin, acuh tidak acuh, lebih-lebih jangan harap menyuruh saya memanggil dia “ayah”.
Tapi ada sebuah peristiwa yang membuat saya mulai ada sedikit kesan baik terhadap ayah tiri.
Suatu hari ketika saya baru pulang dari sekolah, begitu masuk rumah segera melihat kedua tangan ibu memegangi perut sambil berteriak kesakitan. Ibu bergulung-gulung di ranjang, butiran besar keringat dingin bercucuran di wajahnya yang pucat.
Celaka! Penyakit maag ibu kambuh lagi! Saya dan adik menangis mencari ayah tiri yang bekerja disawah. Mendengar penuturan kami, dia segera membuang cangkul ditangannya, sandal pun tak sempat dia pakai. Sesampai dirumah tanpa berkata apapun segera mengendong ibu kerumah sakit seperti orang sedang kesurupan. Ketika ibu dan ayah tiri kembali kerumah, hari sudah larut malam, ibu kelelahan tertidur pulas diatas pundak ayah tiri.
Melihat kami berdua, ayah tiri dengan nafas tersengal-sengal, tertawa dan berkata kepada kami, “Beres, sudah tidak ada masalah. Kalian pergilah tidur, besok masih harus bersekolah!” Saya melihat butiran keringat sebesar kacang berjatuhan bagai butiran mutiara yang terburai, jatuh pada sepasang kaki besarnya yang penuh tanah.
Kesengsaraan yang saya alami dimasa kecil, membuat saya memahami penderitaan seorang petani. Saya menumpahkan segala harapan saya pada ujian masuk ke Universitas. Tetapi pertama kali mengikuti ujian, saya mengalami kegagalan.
“Bu, saya sangat ingin mengulang satu tahun lagi,” pinta saya pada ibu.
“Nak, kamu tahu sendiri keadaan ekonomi kita, adikmu juga masih sekolah di SMA, kesehatan ibu juga tidak baik, pengeluaran dalam keluarga semua menggantungkan ayahmu. Lihatlah sendiri ada berapa gelintir orang di desa ini yang mengenyam pendidikan SMA? Ibu berpendapat kamu pulang kerumah untuk membantu ayahmu!”
Tetapi saya sudah menetapkan niat, bersikap teguh tidak mau mengalah. Saat itu ayah tiri tidak mengatakan apa-apa, dia duduk dihalaman luar menghisap rokok dengan pipa kesayangannya. Saya tak tahu didalam benaknya sedang memikirkan apa.
Keesokan harinya ibu berkata kepada saya, “Ayah setuju kamu menuntut ilmu lagi selama satu tahun, giatlah belajar!”
Ayah tiri menjadi orang yang pertama kali menerima dan membaca surat penerimaan mahasiswa saya. “Bu, anakmu diterima diperguruan tinggi!” teriaknya.
Saya dan ibu berlari keluar dari dapur. Ibu melihat dan membolak-balik surat panggilan itu meski satu huruf pun dia tidak mengenalinya. Tetapi kegembiraan itu tersirat dari tingkah lakunya. Malam itu tak tahu mengapa ayah tiri sangat gembira hingga bicaranya juga banyak.
Saya mengambil botol arak dimeja makan dan dengan sikap sangat hormat menuangkan arak itu satu gelas penuh untuk ayah tiri. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih atas jerih payahnya selama satu tahun! Dengan takjub ayah tiri memandang kearah saya, wajahnya penuh dengan kegembiraan. Sekali mengangkat gelas dan meneguk habis, mulutnya tak henti-hentinya berkata, “Patut, sangat patut sekali!”
Tetapi untuk selanjutnya biaya uang sekolah perguruan tinggi sejumlah 4.000 yuan itu membuat keluarga cemas. Ibu mengeluarkan segenap uang tabungannya serta menjual dan meminjam kesana kemari, tetap masih kurang 500 yuan.
Bagaimana ini? Kuliah akan dimulai satu hari lagi. Saat makan malam, hidangan diatas meja tidak ada seorang pun yang menyentuhnya. Ibu menghela napas panjang sedangkan ayah tiri berada disampingnya sambil merokok, sibuk memperbaiki alat tani ditangannya, saya tidak tahu mengapa hatinya begitu tenang? Suara napas ibu membuat hati saya hancur luluh lantak.
“Sudahlah saya tidak mau kuliah! Apa kalian puas?” Saya berdiri dengan gusar, dan bergegas masuk kamar, merebahkan diri di ranjang lalu mulai menangis…….. Saat itu saya merasakan ada satu tangan besar yang keras menepuk-nepuk pundak saya, “Sudah dewasa masih menangis, besok ayah pergi berusaha, kamu pasti bisa kuliah.”
Malam itu ayah membawa pipa rokoknya, menghisap seorang diri dihalaman rumah hingga larut malam, percikan api rokok yang sekejap terang dan gelap menyinari wajahnya yang banyak mengalami pahit getir kehidupan. Dia memincingkan sepasang mata, raut wajahnya menyembunyikan perasaan dan sangat berat. Kepulan asap rokok dengan ringan menyebar didepan matanya, mengaburkan pandangan, tiada seorang pun tahu apa yang sedang dia pikirkan, tetapi yang pasti dalam hatinya tidak tenang.
Keesokan hari ibu memberitahu saya bahwa ayah tiri pergi ke kabupaten. “Pergi untuk apa?” Percikan bunga api dari harapan hati saya tersirat keluar.
“Dia bilang pergi kekota mencari teman menanyakan apakah bisa pinjami uang.”
“Apa usaha temannya?” Ibu menggelengkan kepala, mulutnya bergumam, “Tidak tahu.”
Hari itu saya menunggu didepan desa, memandang kearah jalan kecil yang berkelok-kelok. Untuk kali pertama perasaan hati saya ada semacam dorongan ingin bertemu ayah tiri, dan untuk kali pertama saya merasakan berharganya sosok ayah tiri dalam jiwa saya, masa depan saya tergantung pada dirinya.
Hingga malam saya baru melihat ayah tiri pulang. Saat saya melihat wajahnya yang penuh senyuman, hati saya yang selalu cemas, akhirnya bisa merasa lega. Ibu bergegas mengambil seember air hangat untuk merendam kakinya. “Celupkanlah kakimu, berjalan pulang pergi 40 kilometer perjalanan cukup membuat lelah.” Dengan lembut ibu berkata kepada ayah tiri.
Saya mengamati wajah ayah tiri dengan saksama, dan menemukan bahwa dia bukan lagi seorang pria yang masih kuat dan kekar seperti dulu. Wajahnya pucat pasi dan bibir membiru, dahinya hitam penuh dengan kerutan, rambut pendek serta tangan kurus bagaikan kayu bakar, penuh dengan tonjolan urat hijau.
Memang benar, ayah tiri sudah tua. Dengan hati-hati ibu melepaskan sepasang sepatunya yang hampir rusak. Dibawah sinar temaram lampu neon, terlihat sebuah benjolan darah besar yang sudah membiru masuk dalam pandangan saya, tak tertahankan hati saya merasa bersedih, air mata saya diam-diam menetes keluar……..
Keesokan hari ketika saya berangkat kuliah, ayah tiri mengatakan dia tidak enak badan, diluar dugaan dia tidak bisa bangun dari tempat tidur. Dalam perjalanan mengantar saya kuliah ibu berkata, “Nak, kamu sudah dewasa, diluar sana semuanya tergantung pada diri sendiri. Sebenarnya ayah tirimu itu sangat menyayangimu, dia sangat mengharapkanmu memanggilnya ayah! Tetapi kamu……”
Suara ibu sesenggukan, saya menggigit bibir dengan suara lirih berkata, “Lain kali saja, Bu!”
Setiap kali membayar uang kuliah, ayah tiri pasti pergi ke kota untuk meminjam uang. Ketika liburan musim dingin dan panas tiba, saya jarang berbicara dengan ayah tiri dirumah, dia sendiri juga jarang menanyakan keadaan saya. Tetapi kegembiraan ayah tiri bisa dirasakan setiap orang.
Setiap kali kembali ketempat kuliah, ayah tiri pasti akan mengantar sampai ketempat yang cukup jauh. Sepanjang perjalanan dia kebanyakan hanya menghisap pipa rokoknya. Semua kata-kata yang ingin saya utarakan kepadanya tidak tahu harus dimulai dari mana.
Sebenarnya dalam hati kecil sejak dulu sudah menerimanya seperti ayah kandung, cinta kasih kadang kala sangat sulit untuk diutarakan! Dengan demikian saya selalu tidak bisa merealisasikan janji saya terhadap ibu.
Pada liburan tahun baru, rumah terkesan ramai sekali. Saat itu saya sudah kuliah di semester-6. Adik meminta saya bercerita tentang hal-hal menarik di kota, ayah tiri duduk dibelakang ibu, sibuk mengeluarkan abu tembakau setelah itu memasukkan tembakau kedalam pipa, wajahnya penuh dengan senyum kebahagiaan. Saya bercerita tentang keadaan kota, adik membelalakkan mata dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ah, teman sekelas kakak kebanyakan sudah mempunyai ponsel dan laptop, sedangkan kakak sebuah arloji pun tidak punya.......” Pada akhirnya saya mengeluh dengan nada bergumam. Saat itu saya melihat wajah ayah tiri sedikit tegang, segera ada perasaan menyesal telah mengucapkan perkataan itu.
Saat liburan usai saya harus meninggalkan rumah kembali kuliah. Seperti biasa ayah tiri mengantar kepergian saya. Sepanjang perjalanan beberapa kali ayah tiri memanggil saya, tetapi ketika saya menanggapi, dia membatalkan berbicara, sepertinya mempunyai beban pikiran yang sangat berat. Saya sangat berharap ayah tiri bisa memulai topik pembicaraan, agar bisa berkomunikasi baik dengannya, namun saya selalu kecewa.
Ketika berpisah, ayah tiri berkata dengan kaku, “Saya tidak mempunyai kepandaian apa-apa, tidak bisa membuat hidup kalian bahagia, saya sangat menyesalinya. Jika engkau sukses kelak, harus berbakti pada ibumu, biarkan dia bisa menikmati hari tua dengan bahagia…” Saya menerima koper baju yang disodorkannya.
Tiba-tiba saya melihat sepasang matanya berkaca-kaca. Hati saya menjadi trenyuh, mendadak merasakan ada semacam dorongan hati yang ingin memanggilnya “Ayah”, tetapi kata yang telah mengendap lama ini akan terlontar dari mulut, mendadak tertelan kembali.
Ketika saya telah berjalan jauh, saya lihat ayah tiri masih berdiri ditempat itu sama sekali tak bergerak, bagaikan patung. Dalam hati saya berjanji: ketika pulang nanti, saya pasti akan memanggilnya “Ayah”. Namun kesempatan itu tak pernah saya dapatkan lagi. Saya tak mengira perpisahan kali ini untuk selamanya.
Dua bulan setelah itu saya mendapat kabar bahwa ayah tiri meninggal dunia. Bagaikan halilintar di siang bolong, benak saya menjadi kosong, serasa dunia ini sudah tiada lagi. Saya pulang dengan perasaan linglung, yang menyambut saya dirumah adalah pipa rokok berwarna coklat kehitaman yang tergantung di tembok.
“Satu-satunya hal yang paling disesali ayah adalah tidak seharusnya menamparmu, setiap kali mengantarmu kembali ke kampus, dia sangat ingin meminta maaf, tetapi ucapan itu selalu tak bisa keluar dari mulutnya. Sebenarnya masalah itu tidak bisa menyalahkan dirinya, kamu tidak tahu betapa sengsara hatinya, pipa itu adalah kesedihan seumur hidupnya!” Dengan hati pedih ibu bercerita.
Melihat benda peninggalan itu teringat pemiliknya, dengan hati-hati saya ambil pipa yang tergantung di tembok itu, pandangan mata saya kabur karena air mata, merasakan kesedihan yang menusuk hati. Ibu juga tergerak hatinya, dia lalu bercerita tentang misteri pipa rokok itu…
Tiga puluh tahun lalu, ayah tiri hidup saling bergantung dengan ayahnya. Ibu dengan ayah tiri adalah teman sepermainan sejak kanak-kanak. Setelah mereka tumbuh dewasa, mereka sudah tak terpisahkan lagi. Tetapi jalinan kasih mereka mendapatkan tentangan keras kakek, sebab keluarga ayah tiri terlalu miskin.
Karena ibu dan ayah tiri dengan tegas mempertahankan hubungan mereka, kakek terpaksa mengajukan sejumlah besar mas kawin kepada keluarga ayah tiri baru mau merestui pertunangan mereka.
Demi anak satu-satunya, ayah dari ayah tiri itu pergi bekerja di perusahaan penambangan batu bara. Malang tak dapat ditolak, terjadi kecelakaan di tambang itu. Dinding tambang runtuh dan menimbun sang ayah untuk selamanya. Barang peninggalan satu-satunya hanyalah pipa rokok kesayangannya semasa hidup.
Ayah tiri sangat sedih, seumur hidup orang yang paling dia hormati dan sayangi adalah ayahnya. Kemudian ayah tiri menyalahkan dirinya dan merasakan penyesalan yang mendalam hingga tak ingin hidup lagi.
Keesokan harinya dia diam-diam meninggalkan rumah dengan membawa pipa rokok itu, tak seorang pun tahu kemana perginya…
Dua tahun kemudian ayah tiri kembali lagi kekampung halamannya, tetapi ibu satu tahun sebelum ayah tiri kembali dipaksa untuk menikah dengan ayah kandung saya. Untuk selanjutnya ayah tiri tidak menikah, yang menemani hidupnya adalah sebatang pipa rokok yang tidak pernah lepas darinya.
Setelah ayah kandung saya meninggal, ayah tiri memberanikan diri menanggung segala tanggung jawab untuk menjaga ibu, saya dan adik. Sejak awal dia menolak mempunyai anak sendiri, dia berkata kami ini adalah anak kandungnya.
Selesai mendengarkan penuturan ibu, tak terasa wajah saya penuh dengan air mata. Sungguh tak menduga jika pipa rokok itu bukan hanya memiliki kisah berliku perjalanan cinta mereka, namun juga mengandung ingatan yang amat berat bagi seumur hidup ayah tiri!
“Ayah meninggal dunia karena pendarahan otak, sebelumnya dia sudah tidak bisa berbicara, hanya memandang Ibu dengan tangannya menunjuk ke arah kotak kayu. Ibu mengerti maksudnya hendak memberikan kotak kayu tersebut kepadamu. Didalam kotak itu terdapat beberapa lembar surat hutang, mungkin dia bermaksud menyuruhmu membayarkan hutangnya. Seumur hidupnya, dia tak ingin berhutang pada orang lain….”
Dengan sesenggukan saya menerima kotak kayu itu dan membukanya dengan perlahan. Ada delapan lembar kertas didalamnya. Saya membacanya dan terkejut bukan main, tubuh menjadi lemas terkulai diatas ranjang.
Ibu saya buta huruf, kertas-kertas yang ada dalam kotak itu bukan surat hutang seperti yang dikatakannya, melainkan tanda terima jual darah! Ayah tiri telah menjual darahnya! Kepala saya terasa pusing dan tangan saya lemas. Kotak kayu itu terjatuh, dari dalamnya menggelinding keluar sebuah alroji baru…
“Ayah! Ayah..” Berlutut didepan kuburan ayah tiri dengan air mata bercucuran, saya hanya bisa menepuk-nepuk onggokan tanah kuning yang ada dihadapan saya. Tetapi biar bagaimanapun saya berteriak-teriak, tetap tak akan memanggil kembali bayangannya.
Saat saya berusia 9 tahun, ibu menikah dengan seorang pria dan menyuruh kami memanggilnya ayah. Pria tersebut adalah ayah tiri saya. Untuk selanjutnya dia yang menopang keluarga kami.
Dalam ingatan masa kecil, ayah tiri saya seorang yang sangat rajin, dia juga sangat menyayangi ibu.Pekerjaan apa saja dalam keluarga yang membutuhkan tenaganya akan dia lakukan, selamanya tidak membiarkan ibu untuk campur tangan.
Sehari-hari ayah tiri adalah orang yang pendiam. Usianya kira-kira empat puluhan lebih, berperawakan tinggi dan kurus, tetapi bersemangat. Dahinya hitam, memiliki sepasang tangan besar yang kasar, di wajahnya yang kecoklatan terdapat sepasang mata kecil yang cekung.
Ayah tiri saya mempunyai suatu kebiasaan, tidak peduli pergi kemana pun, diatas pinggangnya selalu terselip sebatang pipa rokok antik berwarna coklat kehitaman. Setiap ada waktu senggang dia selalu menghisap rokok menggunakan pipa itu. Sejak dulu saya tidak suka dengan perokok, oleh karenanya saya juluki dia dengan sebutan “setan perokok”.
Dalam ingatan saya, ayah tiri selalu tenang dalam menghadapi segala persoalan, tidak peduli besar kecilnya permasalahan selalu dihadapinya dengan santai. Namun hanya karena sebatang pipa rokok, ayah tiri telah memberikan saya sebuah tamparan yang sangat keras.
Teringat waktu itu ayah tiri baru saja menjadi anggota keluarga kurang lebih setengah tahun, suatu hari saya mencuri pipa rokoknya untuk saya sembunyikan. Hasilnya, ayah tiri selama beberapa hari merasa gelisah dan tak tenang, sepasang matanya merah laksana berdarah. Akhirnya karena saya diinterogasi dengan keras oleh ibu, dengan berat hati saya menyerahkan pipa rokok itu.
Ketika saya menyerahkan pipa itu kehadapan ayah tiri, dia menerimanya dengan tangan gemetaran dan tak lupa dia memberikan saya satu tamparan keras, kedua matanya berlinangan air mata.
Saya sangat ketakutan dan menangis, ibu menghampiri dan memeluk kepala saya lalu berkata, “Lain kali jangan pernah menyentuh pipa rokok itu, mengertikah kamu? Pipa itu adalah nyawanya!”
Setelah kejadian itu, pipa rokok itu menjadi penuh misteri bagiku. Saya berpikir, “Ada apa dengan pipa itu sehingga membuat ayah tiri bisa meneteskan air mata? Pasti ada sebuah kisah tentangnya.”
Mungkin tamparan itu telah menyebabkan dendam terhadap ayah tiri, tidak peduli bagaimanapun jerih payah pengorbanannya, saya tidak pernah menjadi terharu. Sejak usia belia, saya selalu berpendapat ayah tiri sama jahatnya seperti ibu tiri dalam dongeng Puteri Salju. Sikap saya terhadap ayah tiri sangat dingin, acuh tidak acuh, lebih-lebih jangan harap menyuruh saya memanggil dia “ayah”.
Tapi ada sebuah peristiwa yang membuat saya mulai ada sedikit kesan baik terhadap ayah tiri.
Suatu hari ketika saya baru pulang dari sekolah, begitu masuk rumah segera melihat kedua tangan ibu memegangi perut sambil berteriak kesakitan. Ibu bergulung-gulung di ranjang, butiran besar keringat dingin bercucuran di wajahnya yang pucat.
Celaka! Penyakit maag ibu kambuh lagi! Saya dan adik menangis mencari ayah tiri yang bekerja disawah. Mendengar penuturan kami, dia segera membuang cangkul ditangannya, sandal pun tak sempat dia pakai. Sesampai dirumah tanpa berkata apapun segera mengendong ibu kerumah sakit seperti orang sedang kesurupan. Ketika ibu dan ayah tiri kembali kerumah, hari sudah larut malam, ibu kelelahan tertidur pulas diatas pundak ayah tiri.
Melihat kami berdua, ayah tiri dengan nafas tersengal-sengal, tertawa dan berkata kepada kami, “Beres, sudah tidak ada masalah. Kalian pergilah tidur, besok masih harus bersekolah!” Saya melihat butiran keringat sebesar kacang berjatuhan bagai butiran mutiara yang terburai, jatuh pada sepasang kaki besarnya yang penuh tanah.
Kesengsaraan yang saya alami dimasa kecil, membuat saya memahami penderitaan seorang petani. Saya menumpahkan segala harapan saya pada ujian masuk ke Universitas. Tetapi pertama kali mengikuti ujian, saya mengalami kegagalan.
“Bu, saya sangat ingin mengulang satu tahun lagi,” pinta saya pada ibu.
“Nak, kamu tahu sendiri keadaan ekonomi kita, adikmu juga masih sekolah di SMA, kesehatan ibu juga tidak baik, pengeluaran dalam keluarga semua menggantungkan ayahmu. Lihatlah sendiri ada berapa gelintir orang di desa ini yang mengenyam pendidikan SMA? Ibu berpendapat kamu pulang kerumah untuk membantu ayahmu!”
Tetapi saya sudah menetapkan niat, bersikap teguh tidak mau mengalah. Saat itu ayah tiri tidak mengatakan apa-apa, dia duduk dihalaman luar menghisap rokok dengan pipa kesayangannya. Saya tak tahu didalam benaknya sedang memikirkan apa.
Keesokan harinya ibu berkata kepada saya, “Ayah setuju kamu menuntut ilmu lagi selama satu tahun, giatlah belajar!”
Ayah tiri menjadi orang yang pertama kali menerima dan membaca surat penerimaan mahasiswa saya. “Bu, anakmu diterima diperguruan tinggi!” teriaknya.
Saya dan ibu berlari keluar dari dapur. Ibu melihat dan membolak-balik surat panggilan itu meski satu huruf pun dia tidak mengenalinya. Tetapi kegembiraan itu tersirat dari tingkah lakunya. Malam itu tak tahu mengapa ayah tiri sangat gembira hingga bicaranya juga banyak.
Saya mengambil botol arak dimeja makan dan dengan sikap sangat hormat menuangkan arak itu satu gelas penuh untuk ayah tiri. Hitung-hitung sebagai rasa terima kasih atas jerih payahnya selama satu tahun! Dengan takjub ayah tiri memandang kearah saya, wajahnya penuh dengan kegembiraan. Sekali mengangkat gelas dan meneguk habis, mulutnya tak henti-hentinya berkata, “Patut, sangat patut sekali!”
Tetapi untuk selanjutnya biaya uang sekolah perguruan tinggi sejumlah 4.000 yuan itu membuat keluarga cemas. Ibu mengeluarkan segenap uang tabungannya serta menjual dan meminjam kesana kemari, tetap masih kurang 500 yuan.
Bagaimana ini? Kuliah akan dimulai satu hari lagi. Saat makan malam, hidangan diatas meja tidak ada seorang pun yang menyentuhnya. Ibu menghela napas panjang sedangkan ayah tiri berada disampingnya sambil merokok, sibuk memperbaiki alat tani ditangannya, saya tidak tahu mengapa hatinya begitu tenang? Suara napas ibu membuat hati saya hancur luluh lantak.
“Sudahlah saya tidak mau kuliah! Apa kalian puas?” Saya berdiri dengan gusar, dan bergegas masuk kamar, merebahkan diri di ranjang lalu mulai menangis…….. Saat itu saya merasakan ada satu tangan besar yang keras menepuk-nepuk pundak saya, “Sudah dewasa masih menangis, besok ayah pergi berusaha, kamu pasti bisa kuliah.”
Malam itu ayah membawa pipa rokoknya, menghisap seorang diri dihalaman rumah hingga larut malam, percikan api rokok yang sekejap terang dan gelap menyinari wajahnya yang banyak mengalami pahit getir kehidupan. Dia memincingkan sepasang mata, raut wajahnya menyembunyikan perasaan dan sangat berat. Kepulan asap rokok dengan ringan menyebar didepan matanya, mengaburkan pandangan, tiada seorang pun tahu apa yang sedang dia pikirkan, tetapi yang pasti dalam hatinya tidak tenang.
Keesokan hari ibu memberitahu saya bahwa ayah tiri pergi ke kabupaten. “Pergi untuk apa?” Percikan bunga api dari harapan hati saya tersirat keluar.
“Dia bilang pergi kekota mencari teman menanyakan apakah bisa pinjami uang.”
“Apa usaha temannya?” Ibu menggelengkan kepala, mulutnya bergumam, “Tidak tahu.”
Hari itu saya menunggu didepan desa, memandang kearah jalan kecil yang berkelok-kelok. Untuk kali pertama perasaan hati saya ada semacam dorongan ingin bertemu ayah tiri, dan untuk kali pertama saya merasakan berharganya sosok ayah tiri dalam jiwa saya, masa depan saya tergantung pada dirinya.
Hingga malam saya baru melihat ayah tiri pulang. Saat saya melihat wajahnya yang penuh senyuman, hati saya yang selalu cemas, akhirnya bisa merasa lega. Ibu bergegas mengambil seember air hangat untuk merendam kakinya. “Celupkanlah kakimu, berjalan pulang pergi 40 kilometer perjalanan cukup membuat lelah.” Dengan lembut ibu berkata kepada ayah tiri.
Saya mengamati wajah ayah tiri dengan saksama, dan menemukan bahwa dia bukan lagi seorang pria yang masih kuat dan kekar seperti dulu. Wajahnya pucat pasi dan bibir membiru, dahinya hitam penuh dengan kerutan, rambut pendek serta tangan kurus bagaikan kayu bakar, penuh dengan tonjolan urat hijau.
Memang benar, ayah tiri sudah tua. Dengan hati-hati ibu melepaskan sepasang sepatunya yang hampir rusak. Dibawah sinar temaram lampu neon, terlihat sebuah benjolan darah besar yang sudah membiru masuk dalam pandangan saya, tak tertahankan hati saya merasa bersedih, air mata saya diam-diam menetes keluar……..
Keesokan hari ketika saya berangkat kuliah, ayah tiri mengatakan dia tidak enak badan, diluar dugaan dia tidak bisa bangun dari tempat tidur. Dalam perjalanan mengantar saya kuliah ibu berkata, “Nak, kamu sudah dewasa, diluar sana semuanya tergantung pada diri sendiri. Sebenarnya ayah tirimu itu sangat menyayangimu, dia sangat mengharapkanmu memanggilnya ayah! Tetapi kamu……”
Suara ibu sesenggukan, saya menggigit bibir dengan suara lirih berkata, “Lain kali saja, Bu!”
Setiap kali membayar uang kuliah, ayah tiri pasti pergi ke kota untuk meminjam uang. Ketika liburan musim dingin dan panas tiba, saya jarang berbicara dengan ayah tiri dirumah, dia sendiri juga jarang menanyakan keadaan saya. Tetapi kegembiraan ayah tiri bisa dirasakan setiap orang.
Setiap kali kembali ketempat kuliah, ayah tiri pasti akan mengantar sampai ketempat yang cukup jauh. Sepanjang perjalanan dia kebanyakan hanya menghisap pipa rokoknya. Semua kata-kata yang ingin saya utarakan kepadanya tidak tahu harus dimulai dari mana.
Sebenarnya dalam hati kecil sejak dulu sudah menerimanya seperti ayah kandung, cinta kasih kadang kala sangat sulit untuk diutarakan! Dengan demikian saya selalu tidak bisa merealisasikan janji saya terhadap ibu.
Pada liburan tahun baru, rumah terkesan ramai sekali. Saat itu saya sudah kuliah di semester-6. Adik meminta saya bercerita tentang hal-hal menarik di kota, ayah tiri duduk dibelakang ibu, sibuk mengeluarkan abu tembakau setelah itu memasukkan tembakau kedalam pipa, wajahnya penuh dengan senyum kebahagiaan. Saya bercerita tentang keadaan kota, adik membelalakkan mata dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ah, teman sekelas kakak kebanyakan sudah mempunyai ponsel dan laptop, sedangkan kakak sebuah arloji pun tidak punya.......” Pada akhirnya saya mengeluh dengan nada bergumam. Saat itu saya melihat wajah ayah tiri sedikit tegang, segera ada perasaan menyesal telah mengucapkan perkataan itu.
Saat liburan usai saya harus meninggalkan rumah kembali kuliah. Seperti biasa ayah tiri mengantar kepergian saya. Sepanjang perjalanan beberapa kali ayah tiri memanggil saya, tetapi ketika saya menanggapi, dia membatalkan berbicara, sepertinya mempunyai beban pikiran yang sangat berat. Saya sangat berharap ayah tiri bisa memulai topik pembicaraan, agar bisa berkomunikasi baik dengannya, namun saya selalu kecewa.
Ketika berpisah, ayah tiri berkata dengan kaku, “Saya tidak mempunyai kepandaian apa-apa, tidak bisa membuat hidup kalian bahagia, saya sangat menyesalinya. Jika engkau sukses kelak, harus berbakti pada ibumu, biarkan dia bisa menikmati hari tua dengan bahagia…” Saya menerima koper baju yang disodorkannya.
Tiba-tiba saya melihat sepasang matanya berkaca-kaca. Hati saya menjadi trenyuh, mendadak merasakan ada semacam dorongan hati yang ingin memanggilnya “Ayah”, tetapi kata yang telah mengendap lama ini akan terlontar dari mulut, mendadak tertelan kembali.
Ketika saya telah berjalan jauh, saya lihat ayah tiri masih berdiri ditempat itu sama sekali tak bergerak, bagaikan patung. Dalam hati saya berjanji: ketika pulang nanti, saya pasti akan memanggilnya “Ayah”. Namun kesempatan itu tak pernah saya dapatkan lagi. Saya tak mengira perpisahan kali ini untuk selamanya.
Dua bulan setelah itu saya mendapat kabar bahwa ayah tiri meninggal dunia. Bagaikan halilintar di siang bolong, benak saya menjadi kosong, serasa dunia ini sudah tiada lagi. Saya pulang dengan perasaan linglung, yang menyambut saya dirumah adalah pipa rokok berwarna coklat kehitaman yang tergantung di tembok.
“Satu-satunya hal yang paling disesali ayah adalah tidak seharusnya menamparmu, setiap kali mengantarmu kembali ke kampus, dia sangat ingin meminta maaf, tetapi ucapan itu selalu tak bisa keluar dari mulutnya. Sebenarnya masalah itu tidak bisa menyalahkan dirinya, kamu tidak tahu betapa sengsara hatinya, pipa itu adalah kesedihan seumur hidupnya!” Dengan hati pedih ibu bercerita.
Melihat benda peninggalan itu teringat pemiliknya, dengan hati-hati saya ambil pipa yang tergantung di tembok itu, pandangan mata saya kabur karena air mata, merasakan kesedihan yang menusuk hati. Ibu juga tergerak hatinya, dia lalu bercerita tentang misteri pipa rokok itu…
Tiga puluh tahun lalu, ayah tiri hidup saling bergantung dengan ayahnya. Ibu dengan ayah tiri adalah teman sepermainan sejak kanak-kanak. Setelah mereka tumbuh dewasa, mereka sudah tak terpisahkan lagi. Tetapi jalinan kasih mereka mendapatkan tentangan keras kakek, sebab keluarga ayah tiri terlalu miskin.
Karena ibu dan ayah tiri dengan tegas mempertahankan hubungan mereka, kakek terpaksa mengajukan sejumlah besar mas kawin kepada keluarga ayah tiri baru mau merestui pertunangan mereka.
Demi anak satu-satunya, ayah dari ayah tiri itu pergi bekerja di perusahaan penambangan batu bara. Malang tak dapat ditolak, terjadi kecelakaan di tambang itu. Dinding tambang runtuh dan menimbun sang ayah untuk selamanya. Barang peninggalan satu-satunya hanyalah pipa rokok kesayangannya semasa hidup.
Ayah tiri sangat sedih, seumur hidup orang yang paling dia hormati dan sayangi adalah ayahnya. Kemudian ayah tiri menyalahkan dirinya dan merasakan penyesalan yang mendalam hingga tak ingin hidup lagi.
Keesokan harinya dia diam-diam meninggalkan rumah dengan membawa pipa rokok itu, tak seorang pun tahu kemana perginya…
Dua tahun kemudian ayah tiri kembali lagi kekampung halamannya, tetapi ibu satu tahun sebelum ayah tiri kembali dipaksa untuk menikah dengan ayah kandung saya. Untuk selanjutnya ayah tiri tidak menikah, yang menemani hidupnya adalah sebatang pipa rokok yang tidak pernah lepas darinya.
Setelah ayah kandung saya meninggal, ayah tiri memberanikan diri menanggung segala tanggung jawab untuk menjaga ibu, saya dan adik. Sejak awal dia menolak mempunyai anak sendiri, dia berkata kami ini adalah anak kandungnya.
Selesai mendengarkan penuturan ibu, tak terasa wajah saya penuh dengan air mata. Sungguh tak menduga jika pipa rokok itu bukan hanya memiliki kisah berliku perjalanan cinta mereka, namun juga mengandung ingatan yang amat berat bagi seumur hidup ayah tiri!
“Ayah meninggal dunia karena pendarahan otak, sebelumnya dia sudah tidak bisa berbicara, hanya memandang Ibu dengan tangannya menunjuk ke arah kotak kayu. Ibu mengerti maksudnya hendak memberikan kotak kayu tersebut kepadamu. Didalam kotak itu terdapat beberapa lembar surat hutang, mungkin dia bermaksud menyuruhmu membayarkan hutangnya. Seumur hidupnya, dia tak ingin berhutang pada orang lain….”
Dengan sesenggukan saya menerima kotak kayu itu dan membukanya dengan perlahan. Ada delapan lembar kertas didalamnya. Saya membacanya dan terkejut bukan main, tubuh menjadi lemas terkulai diatas ranjang.
Ibu saya buta huruf, kertas-kertas yang ada dalam kotak itu bukan surat hutang seperti yang dikatakannya, melainkan tanda terima jual darah! Ayah tiri telah menjual darahnya! Kepala saya terasa pusing dan tangan saya lemas. Kotak kayu itu terjatuh, dari dalamnya menggelinding keluar sebuah alroji baru…
“Ayah! Ayah..” Berlutut didepan kuburan ayah tiri dengan air mata bercucuran, saya hanya bisa menepuk-nepuk onggokan tanah kuning yang ada dihadapan saya. Tetapi biar bagaimanapun saya berteriak-teriak, tetap tak akan memanggil kembali bayangannya.