GURU KECIL
February 15, 2018
Karya : Selly Parkit
Kedatangannya dari jauh memang sudah terlihat, walau agak samar tapi Aku yakin itu dia. Wajahnya yang semu kemerahan, dengan rambut ikat kepang ke atas dan ransel merah muda di pundaknya membuat ia terlihat semakin kecil. Gerakannya yang jingkrak-jingkrak dan gemerincing bunyi kerincingan di kaki kecilnya, menandakan kalau ia memang masih hijau, masih belum tercemar polusi duniawi. Langkahnya tak beraturan, ringan namun terlihat mantap. Tak ada beban di pikirannya dan hatinya, dunia seperti surga bermain yang indah.
Kedatangannya dari jauh memang sudah terlihat, walau agak samar tapi Aku yakin itu dia. Wajahnya yang semu kemerahan, dengan rambut ikat kepang ke atas dan ransel merah muda di pundaknya membuat ia terlihat semakin kecil. Gerakannya yang jingkrak-jingkrak dan gemerincing bunyi kerincingan di kaki kecilnya, menandakan kalau ia memang masih hijau, masih belum tercemar polusi duniawi. Langkahnya tak beraturan, ringan namun terlihat mantap. Tak ada beban di pikirannya dan hatinya, dunia seperti surga bermain yang indah.
Semakin dekat semakin melebarlah
tawanya, mulailah dipamerkannya gigi putihnya itu sambil mengayunkan
lengan kecil beserta jemari-jemarinya yang lentik. Seketika bibirnya
yang mungil menyuarakan kata yang tak asing kudengar, “Lao Shi...
Lao Shi!!!” dari kejauhan suara kecil itu terdengar semerdu bunyi
harpa, bahkan lebih merdu dari biasanya.
Berjingkrak-jingkraknya semakin
menjadi, langkah-langkah kecil itu mulai cepat, daun-daun di
sekeliling mulai berhamburan. Tap… tap... tap… tak terasa
segumpal daging kecil itu sudah mendarat tepat di dekapanku. “Lao
Shi, Good
Moning”
sahut si pemilik bibir merah delima. “Bilang,
Zao An!” “Zao
An…” tirunya
sambil terkekeh-kekeh.
44 Seri
Kumpulan Cerpen
Entah sampai kapan kekehan ini
akan kudengar, sampai si kecil mulai mengertikah? Aku berharap tidak,
Gadis harus menjadi orang yang tegar, orang yang kokoh, bahkah lebih
kokoh dari gunung. Di umurnya yang masih 3 tahun masih belum banyak
yang ia mengerti. Tapi Gadis mengerti cinta. Hanya karena cintalah
Gadis mampu bertahan dalam kerasnya dunia. Dunia yang telah merenggut
kedua orangtuanya dari kehidupannya. Tapi toh Gadis masih bisa
tersenyum, masih bisa bermain dengan kakak pengasuh panti asuhan,
masih bisa terkekeh-kekeh.
“Beberapa hari ini di panti
dia agak rewel semenjak dikasih tontonan Barnie, tapi kalau sudah
sampai di sekolah ya begitu tuh, jingkrak-jingkrakan tak karu-karuan”
sahut kakak pengasuh yang mengantarnya ke sekolah. Aku hanya bisa
tersenyum lebar. Untungnya warisan peninggalan orangtua Gadis mampu
membiayainya sekolah. Tapi walau bagaimana pun mampukah harta duniawi
itu mengobati luka hati? Kurasa tidak. Apalagi karena harta pulalah
Gadis harus menjadi yatim piatu, korban dari perampok yang tak mampu
bertahan dari kerasnya kehidupan. Aku menghela nafas panjang,
membanyangkannya saja sudah membuat sesak.
Gadis kecil itu berjalan
mendahuluiku, lenggak-lenggok parasnya dari belakang sudah banyak
menghiburku. Memperhatikannya membuatku tak mampu menahan tawa.
Meledaklah tawaku di ruang kelas yang masih kosong. “Lao Shi kok
ketawa?” tanyanya sedikit curiga. Melihat mimik wajahnya yang lucu
membuatku berusaha keras menghentikan tawaku. Sambil menarik nafas
dalam Aku berusaha menenangkan diri. “Gadis tahu, kalau hari ini
adalah hari ulang tahun Gadis?”
Guru
Kecil 45
“Ulang tahun ya! Horree..
asik…!!!” serunya
gembira sambil bertepuk tangan. “Hmm.. sebagai hadiahnya, Gadis
boleh minta apa saja sama Lao Shi… Gadis boleh minta kue ulang
tahun berbentuk Princess, atau boneka Barnie yang seperti yang di TV
kemarin” tawarku mengodanya. Gadis terdiam sejenak sambil jemarinya
tak henti melinting-linting rambut depannya yang masih tersisa. “Hmm…
apa ya.. tapi Gadis tidak mau kue ulang tahun berbentuk Princess,
atau boneka Barnie.”katanya dengan tampang serius. “Loh, kalau
tidak mau kue dan bonekanya Gadis mo apa dong?” sahutku menawarkan
kembali kepadanya. “Bener?” tanyanya lugu. “Iya….” Jawabku
memastikannya. Mulutnya yang kecil itu
mulai mengucapkan
kalimat-kalimat panjangnya. “Kata Barnie, anak-anak punya mama
papa, Gadiskan masih anak-anak ya! Gadis mau mama papa bisa?”
seketika hatiku terenyuh, kupeluk Gadis erat-erat, air mataku meleleh
tak terasa. “Loh kok Lao Shi nangis, ih Lao Shi cengeng, yah ga ada
ya mama papanya, kalau ga ada Gadis mau Lao Shi aja deh!” sahutnya
enteng sambil terkekeh-kekeh. Mataku basah, kupeluk Gadis dua kali,
bibirku mulai tersenyum menghiburnya, namun bukan Aku yang
sesungguhnya menghibur Gadis, Gadislah yang sudah menghiburku. Guru
kecil yang mengajarkanku kehidupan.
•
Guru
yang mengajarkan kita kebahagiaan adalah penderitaan. Guru yang
mengajarkan kita untuk dapat bahagia adalah penderitaan. Semakin kita
berusaha menolak penderitaan, semakin jauh kita dari kebahagiaan.
Sumber : Asal Usul Pohon Salak & Cerita-Cerita Bermakna Lainnya ( Terbitan Vidyasena)
•